Anti Mainstream. Gaya melawan arus. Jadi berbeda. Pilihan sikap yang dalam satu dekade terakhir ini kulihat semakin banyak dipilih. Sayangnya banyak yang tak paham, maka lahirlah generasi egois yang berlindung dibalik kata saya punya hak untuk berbeda.
Kata itu, anti mainstream, terlanjur diadopsi sebagai bentuk pemberontakan sosial tanpa dipahami makna sejatinya. Betul teman, tak salah bila kamu meyakini bahwa anti mainstream adalah pemberontakan sosial. Tapi dalam kontribusi kita di dunia ini sebelum kita mati lalu dalam seratus tahun mungkin dilupakan (atau mungkin juga dikenang) sesuai warisan kita dalam catatan peradaban dunia ini, anti mainstream adalah pemberontakan topi putih.
White Hat (noun) Definition of white hat. 1: one who is admirable and honorable, 2: a mark or symbol of goodness | www.merriam-webster.com/dictionary/Bukan sekadar, aku beda. Berbeda pun punya makna, punya pesan. Menjadi sosok pelawan arus semestinya adalah menjadi pemicu gagasan perubahan ke arah yang lebih baik. Bukan hanya menjadi berbeda demi ego pribadi bahkan menabrak aturan sosial.
Generasi Pelawan Arus adalah mereka yang ketika ramai-ramai lulusan perguruan tinggi kejar IPK minimal 2,7 lalu mengantri ambil formulir untuk menjadi amtenar, mereka malah buka usaha sendiri dari minus. Ketika ramai-ramai tamatan SMP bercita-cita masuk SMA lalu kuliah, mereka pilih masuk SMK biar punya modal keahlian untuk mencari nafkah, karena ijazah sekarang susah dipakai cari kerja.
Para Pelawan Arus ini bukan mereka yang miskin etika, fakir moralitas, hidup tanpa aturan lalu berteriak-teriak di sosial media bahwa mereka menuntut kebebasan. Anti Mainstream itu bukan ikut-ikutan bela LGBT tanpa paham bahwa yang mereka bela adalah cikal bakal pemusnahan umat manusia di muka semesta ini.
Anti Mainstream adalah barisan pendobrak kekakuan yang menghentikan umat manusia berkembang menjadi lebih baik (bukan jadi lebih hancur).
Lalu sampailah kita kepada hari ini. Hari ketika semua atau semakin banyak yang berlomba-lomba bersikap sebagai Pelawan Arus. Semua bercita-cita menjadi orang yang melakukan hal tidak biasa, sehingga ketidak biasaan itu berubah menjadi sesuatu yang biasa.
Seperti kemarin ketika semua disekitarku, yang mengelilingi meja tempat cangkir-cangkir berisi espersso, ristretto, coffelate, cappucino, kopi tubruk, dan sanger, sibuk berbicara soal lelang kopi, dan impian mereka menghasilkan kopi paling spesial dari yang paling spesial, idealisme tingkat dewa yang tak salah bila memang itu tujuan hidup mereka (kita semua berhak punya mimpi kan?), aku menunduk membaca sms.
Kopi sudah kering, besok bisa ku antar, bang. Begitu bunyi pesan singkat itu. Ya begitulah. Aku dan temanku yang sedang menjemur kopi itu termasuk yang berdiri di barisan mainstream. Kami melakukan hal yang biasa-biasa saja. Kopi yang dipetik bagus, diolah dengan baik, dijual rata-rata. Tak ada label speciality. Hanya kemasan biasa. Soal melakukan segala yang terbaik untuk memastikan kualitas baik, ah itu mainstream sekali, memang kewajiban siapapun yang mencari nafkah halal untuk mengupayakan yang baik.
Biasa saja. Proses yang terbaik yang kami bisa, lakukan sebaik yang kami mampu. Pastikan konsumen senang. Target utama adalah kopi kami laku terjual, pembeli tak rugi, kami bisa memenuhi kebutuhan dapur, kehidupan sehari-hari. Jalan hidup mainstream, jalan hidup orang kebanyakan.
Dan aku tahu, selain nama-nama besar inspiratif para Pelawan Arus di luar sana, ada juga kami-kami yang biasa saja, menjalani kehidupan ikut arus, melakukan hal yang biasa saja. Bukan pegawai kantoran dengan kemampuan luar biasa, tapi semua tugas yang diamanahkan ,insyaAllah, sembilan puluh lima persen terlaksana. Lima persen lagi? maaf mainstream gitu loh, tak ada manusia yang sempurna.
Seperti juga mereka yang bukan pedagang motivator yang mengguncang jagad dunia maya dan dunia nyata. Tapi setiap pagi bangun, bersiap berdagang, mempersiapkan dagangan, berusaha semampunya. Mainstream saja.
Atau ketika para designer grafis level mastah menolak membuat desain yang mencederai konsep dan idealisme, ada mereka yang berdamai menyimpan idelaisme untuk karya pribadi lalu mengalah menghadapi pesanan desain dari kantor pemerintah yang meminta spanduk bagus ditambahi gambar warna-warni dengan alasan terlalu polos. Padahal itu sebenarnya di konsep sesuai kaidah desain agar spanduk mudah dibaca oleh masyarakat yang melintas dengan kendaraan. Ikut Arus saja, lumayan bisa beli beras dan kopi sachet, sebagai bahan bakar untuk karya yang idealis nanti.
Aku teringat ungkapan lama, satu orang yang kurang ganteng di tengah kumpulan orang-orang ganteng katanya lebih menonjol dibanding yang lain. Di satu sisi, itu ku namai efek pembanding. Di sisi lain aku jadi berpikir. Karena semua sekarang anti mainstream maka menjadi mainstream adalah justru menjadi anti mainstream yang baru.
Lakukan yang terbaik sajalah, sebiasa apapun itu.
Selamat Hari Blogger Nasional, 27 Oktober 2016, dan selamat Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2016. Semoga negara kita segera merdeka.
setuju...lakukan yang terbaik.. apalah artinya anti mainstream kalo niatnya cuma pengen beda dari kebanyakan, tapi kontribusinya utk sekitar malah nihil. IMHO
ReplyDeleteHehehe itu dia, ga jarang malah hanya sekadar 'pokoknya beda' ...leh peu beda pih hom :D
DeleteSelamat hari sumpah pemuda, semoga sukses selalu... ��
ReplyDeleteAamiin
DeleteAku juga orangnya mainstream banget bang. Lulus kuliaj, dapat kerjaan mapan, udah. Pingin sih melakukan sesuatu yang antimainstream, tapi harua pikir panjang dulu sebelum memutuskannya
ReplyDeletesekarang krn udah banyak yg antimainstream, jadi anti mainstream itu duah mainstream. Artinya kita yang mainstream malah jadi antimainstream.
Delete#NahLohBingungBacanya
Dikasi arus yg aman malah cari arus menantang, iya kalo jd terbawa ke arus positif.. Terbawa ke arus negatif gmn
ReplyDeletePadahal saat ikut arus itu, kapasitas pengikutnya pasti berbeda-beda dan punya ciri khas masing2. So buat apa berpikir keras gimana caranya supaya berbeda dari kebanyakan
Karena banyak yg lupa, yang penting itu kontribusi sama manfaatnya, bukan bedanya :)
Delete